Antara Hujan, Soto, dan Jengkol

Pagi ini tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah karena hujan yang mengguyur Sidoarjo sejak dini hari kemarin. In fact, harus batalin beberapa rencana. Dah janji ngajakin anak-anak ke alon-alon Sidoarjo sekalian memenuhi jadwal free run disana. Tapi apa mau dikata jika cuaca tak berpihak pada kita. Jadi kepikiran untuk punya treadmill.

Rinai hujan di pagi hari

Akhirnya pas hujan mulai menyisahkan rintik-rintiknya ketika jam menunjuk angka 7, disempetin keluar untuk menghirup udara segar. Sekalian maem soto di depan komplek. Lapaknya di pinggir jalan, tanpa meja. Jadi rada susah buat anak-anak saat megang mangkoknya yang pastinya panas. Jadinya lesehan di kabin mobil. Aneh aja, hal seperti itu tak urung menarik perhatian orang yang lewat ternyata.

Preparing our order

Selamat menikmati…

Lesehan di kabin belakang

Setelah sarapan selesai, lanjut ke LotteMart untuk berburu jengkol. Iyaaaaa jengkol. Gara-gara malamnya diobrolin di group, dan testimoni teman-teman bikin aku yang pernah sekali aja makan segigit kecil jengkol dan langsung dilepeh gara-gara stigma negatif yang sudah kadung bercokol di kepala, jadi penasaran ingin mengalahkan stigma negatif tersebut. Dari hasil obrolan di group, udah terbayang mau diapain aja tuh jengkol. Rendang jengkol, Balado jengkol, Semur jengkol, bahkan Gulai jengkol dan Jengkol bumbu Bali. Out of the box kan wkwkwk…

Ternyata di LotteMart stok jengkol lagi kosong. Langsung pindah ke Giant yang tak jauh dari situ. Ternyata nggak ada juga. Yo wes pupus sudah harapan untuk membawa sekilo jengkol yang kata teman di group harganya udah mahal. Dari angka yang dia sebutin sih harga sekilo jengkol udah ngalahin harga ayam dengan berat yang sama.

Ya sudah lah, hari ini gagal eksekusi jengkol. Keknya perlu ekspansi ke Surabaya buat nyari si jengki ini. Tapi aku suka ketawa sendiri kalo ingat beberapa teknik memasak jengkol yang diceritakan teman-teman. Ada yang direndam dua hari agar jengkolnya empuk. Kenapa nggak pake presto aja masaknya? Seperempat jam aja dah empuk. Ada yang menguburnya di dalam tanah selama beberapa hari agar baunya nggak terlalu tajam. Haduh kelamaan deh. Mana lagi musin hujan gini. Bisa-bisa tumbuh tunas tuh jengkol hehehe… By the way…ada yang tahu kalo di Surabaya dimana ya yang jual jengkol? Pasar wonokromo? LotteMart Marvel City? Papaya Margerojo?
***

Dian Widyaningtyas for Journey of my life

October 9th, 2016. In the still of the night. It’s rain out there…..

Advertisement

Selamat Pagi Asa

Don’t you know ketika seorang mama sakit, maksudku bener-bener sakit sehingga dia tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari seperti biasanya, it feels like the world stop turning. Freezed. Tak ada masakan yang tersaji dengan layak di meja, baju kotor teronggok di dekat mesin cuci, piring kotor makin meninggi di bak cuci piring, lantai kotor berhias kertas bekas aktivitas anak-anak dimana-mana, dan sederet kekacauan lain yang tubuh ini tak mampu untuk membereskannya. Sungguh situasi dan kondisi yang nggak enak banget.

Tak ada gunanya kalau hanya meratapi keadaan, menyesali apa yang terjadi, merutuki penyakit yang singgah dan hal-hal negatif lainnya. Serahin saja pada ahlinya. InsyaAllah dia tahu lebih baik dari kita eventhough itu adalah tubuh kita sendiri. Sore kemarin dapat nasehat privately dari seorang teman tentang hal ini. MasyaAllah…nyess banget knowing that there’s someone cares that much to me. Makanya sekarang semangat minum obat yang sampe lima macam itu. As you know sebelumnya aku paling anti sama obat kimia yang menurutku hanyalah butiran racun belaka.
wp-1460510343903.jpeg
Satu hal yang kurasakan sangat membantu pemulihan kesehatan adalah semangat. Mungkin efeknya lebih dasyat daripada obat-obat yang diberikan dokter. Seperti tadi malam ketika aku begitu bersemangat melakukan hal-hal yang sangat kusukai, rasanya sakit pergi begitu saja entah kemana. Then i just felt alive!
Maka pagi ini kusambut hari dengan semangat baru, think positively, and easy going.
Selamat pagi asa
Senang sekali bertemu denganmu
Diantara burung-burung yang bernyanyi dan menari
Diantara sinar mentari yang lembut menyapa
Diantara semua rahasia Allah yang bakal kutemui hari ini
Aku tahu kau ada di sana
***
Dian Widyaningtyas
Pagi yang cerah, di halaman parkir kantor
Wednesday, April 13, 2016

Semangkuk Bumbu Pecel dan Sebuah Janji di Masa Lalu

Jam hampir menunjuk angka 12, sarapan yang kesiangan di pagi ini, dengan menu bumbu pecel dan tempe goreng tepung. Memang nggak biasa sarapan dibawah jam 10. Jangan ditanya mana sayurnya, lagi nggak mood nyiapin sayur. Punya mood untuk makan aja udah bersyukur banget hehehe.

Sarapan

Sarapan

Hari Sabtu kemarin pas beli bumbu pecel di pasar kaget, sempat nanya-nanya sama penjualnya. Tiga belas kilo bumbu pecel habis dalam waktu empat hari. Itu artinya ibu itu perlu waktu empat hari untuk mendapatkan duit Rp. 676.000,-. Itu omzet ya, bukan net pofit. Emang sih, ibu itu jual makanan lain seperti aneka rempeyek. Tapi aku bisa memperkirakan omzetnya nggak jauh dari omzet bumbu pecel. Karena dia harus pula penyesuaikan harga jual dengan daya beli pasar. Beda halnya kalo dia poles tampilan dagangannya, dan dijual kepada kalangan yang lebih mementingkan tampilan (kemasan) daripada rasa. Kalangan yang akan membayar berapa saja harga yang ditawarkan (ingat produk maicih kan?). Tapi tentu saja pikiran ibu sederhana itu nggak sampai kesana. Yang dia tahu hanya beli bahan, bikin, dan menjual langsung ke pelanggan dengan hitung-hitungan yang tak kalah sederhananya.

Nasi pecel dan lauk tempe goreng tepung

Nasi pecel dan lauk tempe goreng tepung

Tiba-tiba aku jadi ingat ibuku. Ibuku dulu juga berjualan bumbu pecel seperti dia. Ibu menitipkannya di toko-toko di pasar Perak. Waktu itu ibu sudah mengantongi ijin dari departemen kesehatan. Tapi belum sampai ngurus sertifikat halal. Melihat perkembangan bisnis onlineku waktu itu, ibu memintaku untuk mengembangkan usaha bumbu pecelnya. Mungkin ibu melihat aku punya kemampuan di bidang marketing, sedangkan ibu hanya bisa memikirkan bagaimana membuat bumbu pecel yang enak. Waktu itu aku menyanggupi permintaan ibu. Tapi sampai sekarang aku belum bergerak sama sekali untuk merealisasikannya. Hingga syaraf tangan ibu terganggu pasca kecelakaan tahun lalu, yang mengakibatkan ibu kesulitan melakukan aktifitasnya sehari-hari, juga untuk memproduksi bumbu pecel lagi.

Janji tetaplah janji. Mungkin aku bisa memulainya dengan meminta ibu untuk mengajariku cara membuat bumbu pecel seenak bikinan ibu. Pun setelah itu aku harus menjajal resep itu berkali-kali seperti halnya ketika aku belajar membuat kue dengan resep baru sehingga tercipta chemitry antara aku dengan resep rahasia ibu hehehehe. Sambil memikirkan polesan apa dan cara marketing yang bagaimana yang bisa kulakukan untuk barang dagangan tersebut. Ada saran? ^_^

***

Dian Widyaningtyas

Journey of My Life

Sunday, August 16, 2015

Tanda Cinta dari Tanah Seberang

Siang ini dapat kiriman telur penyu kesukaan anak-anak dari tanah seberang. Mama mertua selalu saja ingat kesukaan cucu-cucunya di sini.

IMG_20150815_125909

Tanda Cinta

Telur Penyu

Telur Penyu

Pertama melihat orang makan telur penyu waktu dulu sarapan bareng belahan jiwa. Waktu itu udah dikhitbah dan nunggu hari H untuk ijab kabul. Beliau tau kebiasaan makanku yang amburadul. Jadi tiap pagi diajakin sarapan di warung depan kantor di GKN II Dinoyo. Namanya Warung Lumintu kalau nggak salah. Harapannya sih biar aku lahap dan teratur makannya. Apakah waktu itu aku jadi doyan makan? Malah sebaliknya. Kadang hanya beberapa sendok aja bisa masuk ke mulut. Sarapan bareng seseorang yang perlahan-lahan membuatku jatuh cinta bikin aku mendadak kenyang, grogi, salting, dan hanya berani nunduk entah ngitung butiran nasi di piring atau menyembunyikan wajah dari lirikan belahan jiwa #ihirrrrr. Kok tau kalo dilirik? Ngelirik juga ya? Wkwkwkwk

Nah di sela-sela momen seperti itu beberapa kali aku melihat belahan jiwa mengeluarkan sebutir telur penyu dari saku bajunya. Asli…dikantongi gitu aja tanpa dibungkus plastik. Aku takjub, maklum belum pernah lihat telur penyu secara langsung. Kok gak pecah ya, gitu pikirku. Cangkang telur yang lembek itu beliau sobek dan isinya beliau tuang di atas nasi yang sudah tersaji di meja kami. Aku nggak ada minat sedikit pun untuk mencicipinya.

Dikemudian hari setelah kami punya anak, ternyata anak-anak pada suka banget sama telur penyu. Persis almarhum abahnya. Kalo nggak distop, bisa-bisa semangkok besar habis dalam sehari. Segala sesuatu kalo berlebihan nggak baik kan. Jadi anak-anak harus dibatasi dan sering-sering diingatkan. Aku sendiri hanya doyan makan kuning telurnya saja. Atau telur penyu aku simpan terbuka dalam kulkas sampai isinya agak mengeras. Nah kalau yang sudah seperti itu aku doyan makannya.

Mama mertua sering banget mengirimkan tanda cintanya pada kami. Walau dipisahkan jarak ribuan kilo, tapi tidak pernah menghalangi mama untuk menunjukkan cintanya pada kami. Aku bisa mengerti bagaimana kerinduan mama mertua pada anak-anakku. Anak-anakku adalah pengobat kerinduan mama mertua pada anak lelaki satu-satunya yang telah pergi meninggalkan kami semua. Semoga Allah beri kelonggaran rizki sehingga aku dan anak-anak bisa sering-sering bersilaturahmi ke tanah seberang, mempertemukan mereka dengan nenek, kai dan leluhurnya yang lain di sana. Karena bagaimana pun juga, ada darah Bugis dan Banjar yang mengalir pada diri mereka, disamping darah Jawa dari aku.

***

Dian Widyaningtyas

In the middle of the day, on my long weekend, August 15, 2015

Irresponsible People

So many irresponsible people along the way this morning. Ada pengendara motor yg berhenti di depanku, sementara pengendara mobil dari arah berlawanan juga berhenti di titik yang sama. Pengendara motor turun menghampiri pengendara mobil, entah apa yg mereka bicarakan. Yang jelas di jalan yang sempit itu mobilku stuck nggak bisa jalan gara-gara ulah mereka. Saat kunyalakan klakson, eh pengendara mobil menyuruhku untuk sabar. Jadi orang lain disuruh sabar sedangkan mereka nggak kira-kira menggunakan jalan. How selfish you are, Sir !

IMG_20150225_065800

What a morning…

Di jalan lain yang tak kalah sempitnya, ditambah lagi di depan ada bottle neck sehingga mobil kami harus gantian jalan, eh ada pengendara motor yang nekat nyalip dan disaat yg sama, mobil dari arah berlawanan sudah berhasil keluar dari bottle neck disusul beberapa mobil lain. Tapi mobil-mobil dari arah berlawanan itu terpaksa stuck gara-gara ulah pengendara motor yang nekat nyalip dan menuhi jalan. Maklum, mobil paling depan dari arah berlawanan tadi mobil fortuner yang tentu saja membutuhkan space lebih lebar dibanding mobil lain. Kalao yang paling depan stuck, otomatis mobil yang posisinya masih di bottle neck nggak bisa keluar dan akibatnya mobil dari arahku juga nggak bisa maju. Stuck deh sekian menit. Hadeh….gara-gara ulah satu pengendara motor, merugikan banyak orang.

Di sepanjang jalan Wisma Tropodo yang sangat lebar tapi dipenuhi oleh penjual makanan di kiri-kanan jalan yang mengakibatkan jalanan tersebut menjadi sempit, ada seorang ibu yang menghentikan mobil seenaknya sendiri. Mobilnya kurang menepi sehingga mobil-mobil lain baik dari arahku maupun mobil-mobil di belakang dia nggak bisa jalan. What’s on her mind sih? Kok bisa-bisanya dia parkir seenak udelnya sendiri tanpa memperhitungkan apakah mobil lain terhalang atau enggak. Jangan-jangan ibu itu nggak punya udel hehehe.

Ya sudahlah, inilah negeriku tercinta Indonesia Raya. So many irresponsible people along the way. Dinikmati saja, dan direlakan sekian puluh ribu yang melayang gara-gara telat ngantor setelah berjibaku dengan kekacauan pagi tadi. Alhanmdulillah masih bisa kunikmati pagi yang cerah ini dengan bercengkerama dengan anak-anak saat aku mengantar mereka ke sekolah. Alhamdulillah kumasih diberi kesempatan untuk jalani hidup ini. Itu artinya aku diberi kesempatan untuk berbuat lebih baik dari kemarin. Alhamdulillah….

***

Dian Widyaningtyas

Almost lunch time, Tuesday, March 17th, 2015

Good Friends Are Like Stars

Aku sedang ingin membuka netbook dan berselancar di dunia maya mlam ini. Setelah kubuka salah satu browser, langsung saja aku buka beberapa site sekaligus, antara lain Facebook, Pinterest, dan email. Setelah mengedit beberapa setingan di Fan Page Butik Zahrah yang sehari sebelumnya ada yang nyelonong ngiklan di sana, akhirnya aku memfokuskan perhatianku ke Pinterest.

Pada salah satu boardku yang terdapat di Pinterest, aku mendapatkan sebuah link yang berisi tentang creative writing pr0mpts selama setahun. Mataku langsung terpaku pada salah satu prompt entah di baris yang ke berapa. Friendship. Begitu yang tertulis di sana. Aku langsung teringat pada salah satu momen yang belum sempat kutuliskan diblogku ini.

Aku langsung teringat dengan teman-temanku yang tak bisa kuhitung lagi berapa jumlahnya. Awalnya kami disatukan oleh pekerjaan. Kemudian kami disatukan oleh sebuah forum di instansiku, yang membahas banyak hal, dari masalah pekerjaan sampai masalah hobi, dari masalah agama sampai sosial budaya. Dari forum tersebut dibentuk lagi beberapa komunitas yang lebih kecil dan lebih intens interaksinya. Khusus untuk wanita, kami memiliki sebuah group yang satu dengan yang lainnya sangat dekat dan akrab. Padahal kami berjauhan dan tersebar di seluruh Indonesia. Sungguh, ketika membaca kata “friendship” maka yang terbayang adalah wajah-wajah mereka yang sebagian sudah kuketahui dari foto profil yang mereka pasang di beberapa akun media sosial, atau nick name mereka di forum jika tak pernah kudapati wajah mereka di akun-akun tersebut, atau bahkan malaikat-malaikat kecil mereka yang mereka jadikan foto profil.

Kami jauh di mata tapi dekat di hati. Mereka ada disaat-saat tersulitku, ketika aku kehilangan belahan jiwa. Aku masih ingat betapa doa dan dukungan mereka mengalir begitu derasnya  waktu itu. Knowing that I would not alone, that made me strong. Kehadiran mereka membuatku kuat. Ada saat-saat tertentu ketika kami sangat berharap bisa bertemu. Kadang ada beberapa teman yang dipertemukan oleh panggilan diklat. Ada pula yang dipertemukan dengan SK mutasi.

Suatu pagi di hari Sabtu terakhir bulan Agustus tahun lalu, tiba-tiba saja aku bisa janjian dengan salah satu teman. Aku mengenalnya dengan nama Mbak Enny atau Ummu Musyaffah. Kalau wajahnya, jangan ditanya karena memang aku tidak tahu walau kami sering ngobrol begitu akrabnya di beberapa group. Waktu itu Mbak Enny dalam perjalanan dari Nganjuk menuju ke bandara Juanda untuk kembali ke kotanya di Sumatera. Temanku ini bersuamikan orang Nganjuk. Jadwal pesawat jam 13 kalau nggak salah, sedangkan jam 11.30 aku harus jemput anak-anak yang sedang ikut ekstra kurikuler di sekolahnya. Walau hati ingin banget ketemu, tapi mengingat jamnya begitu mepet, aku hanya pasrah saja. Kalau sudah waktunya bertemu, pasti Allah akan pertemukan, bagaimana pun caranya.

Ketika dalam perjalanan sehabis menjemput anak-anak di sekolah, Mbak Enny mengabarkan bahwa jadwal keberangkatan pesawatnya mengalami delay yang lumayan lama. Langsung saja kupacu mobilku yang waktu itu masih di daerah Deltasari, menuju ke bandara Juanda. Sekian puluh menit kemudian aku dan anak-anak sudah menginjakkan kaki di area domestic departure. Bingung juga waktu itu, bagaimana aku bisa mengenali Mbak Enny sedangkan aku belum pernah melihat wajahnya. Akhirnya kutelpon nomor Mbak Enny sambil mataku melihat kesekeliling, barangkali ada yang mengakat teleponnya dan menjawab pangilan teleponku. Itu saja caraku untuk mengenali Mbak Enny. Dan benar saja aku bisa memastikan setelah kulihat ada seorang wanita bergamis dan berjilbab lebar mengangakat teleponnya dan menjawab panggialan teleponku.

We are... Now you see the author of this blog ^_^

We are… Now you see the author of this blog ^_^

Terharu. Itu yang kurasakan. Setelah sekian tahun berinteraksi di dunia maya, akhirnya hari itu, Sabtu tanggal 30 Agustus 2014, Allah pertemukan kami. Kulihat mata Mbak Enny berkaca-kaca. Mungkin dia terharu juga dengan pertemuan kami. Lalu kami ngobrol dengan akrab seperti halnya ketika ngobrol di group. Kami ngobrol banyak hal. Hampir sejam kami bertemu sampai akhirnya aku pamit. Mbak Enny, suami, dan anak-anaknya tentu saja perlu waktu untuk berpamitan dengan keluarga yang sudah mengantarnya dari Nganjuk. Karena itulah aku pamit undur diri walau hati ini masih ingin ngobrol lama.

Sepanjang perjalanan pulang aku masih memikirkan pertemuan kami itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa aku bisa bertemu dengan salah satu temanku yang terpisahkan oleh jarak sekian ratus kilo. Tapi kalau Allah sudah berkehendak, apa saja pasti bisa terjadi. Semoga dimasa-masa yang akan datang aku bisa bertemu dengan temna-temanku yang lainnya.

***

Good friends are like stars. You don’t always see them, but you know they’re always there !

Dedicated to all of my friends di Forum Shalahuddin, di group BBM Pasar FS, di group WA Pasar FS Duo, di group FB Shalahuddin Cooking Club, di blog SCC dan group-group lainnya. I love you all…

Dian Widyaningtyas

Jelang pergantian hari, Tuesday, January 20th, 2014

Banana Bread for Banana Lover

Entah sudah kali keberapa aku berkutat dengan tepung, gula, dan bahan-bahan kue lainnya. Seingatku hampir setiap hari aku bermain-main dengan mereka sejak aku memutuskan untuk membuat kue sendiri untuk bekal anak-anak sekolah. Tanpa sadar, membuat kue sudah menjadi rutinitas keseharianku. Nanti akan kutulis deh awal mula aku nyemplung dalam dunia perbakingan. jadi mungkin ntar jadinya seperti tulisan flash back alias late post gitu.

Aku merasa kian hari kemampuanku membuat cake semakin bertambah. Walau sering resep-resep yang kupraktekkan adalah resep baru bagiku, tapi aku yakin aja, Bismillah, nggak gagal. Dan alhamdulillah hasilnya nggak pernah mengecewakan. Aku juga mulai berani memodifikasi resep-resep yang kudapat dari berbagai sumber baik internet maupun buku- buku dan majalah. Aku jadi berpikir….apa aku punya bakat jadi chef baking ya? #ngayal

Pagi tadi aku membuat kue dengan bahan utama pisang. Hari sebelumnya ada seseorang yang memberiku pisang. Bukan pisang yang biasanya untuk bahan cake sih, tapi ini pisang ulin yang bentuknya kecil-kecil itu. Waktu menerima lima biji pisang tersebut sudah terlintas di kepalaku untuk mengubahnya menjadi cake. Bagiku pisang apa aja bisa dijadikan cake asal bukan pisang batu aja hehehe.

Seperti biasa, bangun tidur sebelum subuh, aku mulai nyiapin bahan-bahan. Aku siapin juga loyang tulban yang baru aku beli minggu lalu dan belum pernah kupakai. Loyang tulban yang kubeli ini diameternya 23 centimeter dengan bahan alumunium tebal.

Banana Bread for Banana Lover

Bahan :

  • 5 buah pisang (kalau ukuran besar cukup 2 buah saja)
  • 1/2 cup susu cair
  • 1/2 cup minyak
  • 2/3 cup gula pasir
  • 2 butir telur
  • 2 cup tepung terigu pretein sedang
  • 1 sdt baking powder
  • 1 sdt soda kue
  • 1/2 sdt garam halus

Cara :

  • Lumatkan pisang dengan garpu
  • Tambahkan susu, minyak, gula pasir, dan telur kedalam pisang yang sudah dilumatkan. Aduk sampai gula larut
  • Masukkan tepung, baking powder, soda kue dan garam perlahan. Aduk sampai tercampur rata.
  • Masukkan adonan yang sudah jadi kedalam loyang tulban yang sudah dioles mentega tipis-tipis sebelumnya.
  • Panggang dalam oven dengan suhu 180 derajat celcius dengan api bawah selama 40 menit – 50 menit. Jangan lupa untuk memanaskan oven sebelumnya.
  • Keluarkan Banana Bread dari loyang ketika sudah dingin. Iris-iris sesuai selera.

 

Banana Bread fresh from oven

Banana Bread Slices

Banana Bread Slices

Hasil dari resep Banana Bread ini rasa manisnya pas banget di lidahku dan dengan tekstur yang cenderung kering. Berbeda dengan yang biasanya dijual di supermarket dengan rasa terlalu manis dan tekstur cenderung basah dan lengket. Alhamdulillah…sukses deh memodifikasi resep berbahan dasar pisang.

Get Closer to Banana Bread

Get Closer to Banana Bread

Gerimis yang turun sejak tadi malam membuat anak-anak tertidur pulas memeluk gulingnya masing-masing. Tapi aroma harum banana bread mampu membangunkan mereka untuk segera beranjak menuju ke sumber aroma harum tersebut.  Seperti biasa, kata-kata yang terlontar dari mulut-mulut mungil mereka ketika mereka keluar dari kamar adalah “Mama hari ini bikin kue apa?” “Mama nanti aku bawa kuenya berapa potong?” dan tiba-tiba saja pagiku menjadi riuh rendah dengan celotehan mereka sebelum akhirnya kembali sepi ketika mereka beranjak sholat subuh.

***

Dian Widyaningtyas

Chef Baking Wanna be… ^_^

January 20th, 2015

And I Feel The World Stops Turning

Aku tak ingat lagi mulai kapan aku merasakan ada yang salah dengan tubuhku. Kalau nggak salah ingat sih sebelum tahun baru kemarin aku sudah merasakan kelelahan yang biasanya bisa kuabaikan.

Jelang tahun baru, aku malah asyik lembur di kantor sampai hampir jam tujuh malam. Ada beberapa data yang harus kuinput ke dalam sebuah aplikasi internal sebelum bulan Desember benar-benar berakhir.

Setelah meyakinkan diri bahwa tak ada lagi data yang bisa kuinput, akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Setelah keluar dari gedung, baru kutahu kalau waktu itu sedang gerimis yang cukup lebat. Aku tak tahu apakah keasyikanku saat bekerja atau tempat kerjaku yang berada di lantai tigalah yang menyamarkan telingaku dari suara gerimis itu.

Aku melenggang santai ke area parkir motor yang mulai gelap. Tak kuhiraukan gerimis yang meningkahi langkah kakiku. Bahkan tak kuhiraukan gerimis itu mulai sedikit membasahi jilbabku. Entahlah malam itu aku begitu malas untuk mengenakan jas hujan. Cuman gerimis aja, siapa tahu semakin ke arah rumah, semakin reda gerimisnya. Begitu pikirku.

Keluar dari area perkantoranku, biasanya aku mengambil jalan ke kanan dan selanjutnya melewati Bendul Merisi yg letaknya di belakang kantor. Tapi malam itu aku ingin mengambil jalan ke kiri dan melewati Raya Jagir. Kalau sudah malam tentunya sudah tak ada lagi kemacetan di daerah perempatan pintu KA Jagir. Itulah kenapa aku memutuskan untuk lewat Raya Jagir menuju ke Wonokromo. Ternyata di sepanjang jalan banyak sekali pedagang jagung. Banyak pula pembelinya. Mungkin buat persiapan pesta tahun baru yang kurang beberapa jam lagi. Makan jagung bakar dimalam yang dingin sepertinya asyik juga.

Jalanan lumayan lengang, dan gerimis masih saja belum reda. Aku memacu laju motorku lebih kencang. Hawa dingin makin terasa menusuk ke dadaku karena aku lupa mengancingkan jaket hitam berbahan drill yang seharusnya bisa melindungiku dari hawa dingin. Kurang dari setengah jam, sampailah aku di rumah.

Setelah nyiapin makan malam buat anak-anak, dan anak-anak pun selesai menikmati makan malam, tibalah waktunya untuk merebahkan diri di pembaringan. Dan justru saat itulah mulai bisa kurasakan sinyal-sinyal tubuhku yang menyuarakan protesnya. Kepala pening, hidung tak lagi bisa bernapas dengan bebas, dan tubuhku mulai menggigil kedinginan. Mengigil kedinginan adalah mekanisme tubuhku ketika demam.

Disaat itu ada pesan masuk dari seorang teman yang menceritakan bahwa dia sedang menyaksikan kembang api di negaranya. Dia mengambarkan kemeriahan pesta tahun baru di tempatnya sana. Sedangkan tahun baru masih empat jam lagi disini. Aku menjawab seperlunya agar tidak mengecewakannya. Kujawab pula pesan-pesan yang masuk dari teman-teman lain, juga obrolan di beberapa group. Setelah itu aku mencoba untuk tidur.

Setelah dengan susah payah aku berusaha untuk tidur, dan disaat aku mulai bisa mengatasi rasa pening dan hidung mampet dengan beberapa kali ganti posisi tidur, bunyi jedar jeder mulai memekakkan telingaku. Semakin lama semakin banyak dan bersahut-sahutan silih berganti tiada henti. Kulihat jam di handphone menunjukkan angka 11.59 PM. Ah pantas saja…sudah waktunya tahun baru. Dan aku nggak bisa tidur gara-gara kebisingan itu. Akhirnya seperti biasa aku jalan-jalan ke dunia maya daripada bengong nggak bisa tidur dan nggak bisa ngapa-ngapain.

Aku baru bisa memejamkan mata setelah sholat subuh. Beberapa jam kemudian aku bangun dan kubuatkan sop krim untuk mengganjal perut anak-anak yang pastinya sudah mulai kelaparan. Kebetulan aku punya sop krim instan dan membuatnya semudah membuat agar-agar saja. Alhamdulillah anak-anak bisa mengerti kalau mamanya sedang sakit dan nggak minta macam-macam. Saat mereka menikmati sop, aku mulai memasak menu sederhana. Setelah itu aku balik ke kamar lagi.

Padahal sudah banyak rencana yg kujadwalkan di libur tahun baru kemarin. Antara lain bikin kue seperti biasanya, bikin yoghurt, melanjutkan bikin katalog untuk buku-buku di perpustakaan pribadiku, dan tentu saja mencuci baju yang sudah menumpuk di keranjang baju kotor. Semuanya berlalu begitu saja tanpa satu pun yang bisa kukerjakan diantara sekian banyak rencana yang sudah kubuat.

And I feel the world stops turning when I’m sick. Bahan kue tetap menjadi bahan kue tanpa mampu merubah dirinya menjadi kue yang dinantikan anak-anak. Susu full cream masih saja menjadi susu full cream tanpa mampu merubah dirinya menjadi yoghurt. Begitu pula yang lainnya. Aku jadi ngebayangin andai disaat aku sakit, semua rencana masih bisa berjalan dan orang lain yang menyelesaikan semuanya. Enak banget ‘kali ya.

Pletak!!!! Nggak perlu berandai-andai deh. Khayalan memang indah tapi kenyataanlah yang ada di depan mata. Tak selayaknya aku tergolek pasrah. Aku mulai mensugesti diriku sendiri. Sehat….sehat….sehat…begitu bisikku pada diri ini. Akhirnya aku bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan.

I'm fine

I’m fine

Esok harinya dengan suara makin parau aku ngantor. Ya tanggal 2 Januari, itu adalah hari pertama ngantor di tahun 2015. Jalanan masih sepi, kantor pun sepi. Alhamdulillah tak ada kunjungan dari Wajib Pajak yang minta konsultasi hari itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana suaraku yang parau ini akan melayani pertanyaan-pertanyaan Wajib Pajak seputar kewajiban perpajakannya. Hari itu rasanya waktu berlalu begitu lambat. Aku sudah ingin segera pulang dan beristirahat untuk memulihkan kondisiku.

Hari ini masih kusugesti diriku. Sehat…sehat…sehat. Belum banyak yang bisa kulakukan. Setidaknya bisa menyediakan makanan buat anak-anak agar mereka nggak kelaparan, itu sudah cukup. Alhamdulillah cucian juga udah beres. Aku masih terus mensugesti diriku, sehat…sehat…sehat. I hope I will be better tomorrow, because I don’t want the world stops turning.
***

Dian Widyaningtyas

On the bed, late at night, waiting for the dawn.
Saturday, January 3th, 2015

Don’t Try This At Home !

Saat buka puasa adalah saat crowded bagiku. Dengan waktu yang terbatas, aku harus bisa menyediakan makanan dan minuman untuk berbuka bagi kami sekeluarga. Ya waktunya sangat terbatas. Aku pulang dari kantor jam 17.00 dan buka puasa jam 17.30. Artinya aku hanya punya waktu selama 30 menit untuk menyediakan nasi, sayur, lauk, dan minuman untuk berbuka puasa. Mungkin bagi orang lain waktu selama 30 menit itu sudah lebih dari cukup, hm…bagiku cukup sih, tapi harus dengan ekstra effort.

Continue reading

Steamer Sederhana

Sebagai seseorang yang terbiasa sarapan diatas jam 9 dan dibawah jam 11, kegiatan sahur yang biasanya aku lakukan pada jam 03.30 sebenarnya teramat sangat membuat lambungku kurang nyaman. Baru puasa beberapa hari saja aku sudah mulai bosan dengan kegiatan sahur. Pengennya sih cuman minum minuman hangat saja tanpa makan. Tapi karena aku jadi panutan anak-anak, maka aku harus memaksakan diri untuk sahur secara normal.

Continue reading