Hidup Adalah Pilihan

Beberapa waktu lalu aku sedikit dikejutkan dengan sebuah ketentuan kepegawaian baru. Ketentuan kepegawaian yang baru tersebut mengharuskan setiap pegawai untuk memilih kota yang diinginkan dalam hal terjadi mutasi atau promosi. Sebenarnya aku kurang paham karena terus terang aku belum pernah membaca ketentuan tersebut secara mendetil. Aku kurang yakin bagaimana bunyi ketentuannya, apakah disitu menyebutkan kata “diharuskan” atau hanya sekedar “dihimbau” saja. Tapi bagiku sama saja. Daripada nggak memilih terus dipilihkan dan ternyata nggak sesuai dengan keinginan, ya mending milih sendiri.

Kupikir ketentuan tersebut cukup adil dan sangat memihak pada para pegawai di instansiku mengingat sekian tahun silam ketika kami mendaftar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang merupakan akses kami untuk bisa mengabdi di Kementerian Keuangan, pada waktu itu kami sudah menandatangani kesanggupan untuk ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi menurutku, kalau saat ini kami diberi kesempatan untuk memilih di kota mana kami ingin mengabdi jika ada mutasi atau promosi, tentu saja ini adalah sebuah kemurahan hati yang diberikan kepada kami.

Awalnya aku sudah akan memilih tanpa pertimbangan apapun. Masih pelaksana ini, paling-paling mutasinya hanya intern di dalam satu kantor wilayah. Itu yang ada dalam pikiranku. Easy going saja menentukan lima kota tujuan mutasi. Ya aturan tersebut mengharuskan (atau menghimbau?) kami untuk memilih lima kota tujuan mutasi. Tapi setelah baca ketentuan bahwa Account Representative sangat dimungkinkan untuk mutasi antar kantor wilayah, ditambah pula ada pemberitahuan dari kepegawaian bahwa tahun depan aku akan naik pangkat dan golongan dimana hal itu lebih memungkinkan diriku untuk mutasi keluar kantor wilayah, maka pilihan lima kota tidak bisa kulakukan dengan easy going saja tanpa pertimbangan yang matang. Akhirnya aku batal mengisi dan kembali tenggelam dalam kesibukan lainnya sambil sesekali mempertimbangkan kota apa yang akan kuisikan di aplikasi tersebut.

Semakin mendekati akhir Oktober 2014, pihak kepegawaian semakin sering mengingatkan untuk segera melakukan pilihan lima kota pada aplikasi kepegawaian yang bisa kami akses secara mandiri. Dan seperti biasa, semakin diobrak-obrak maka semakin cueklah diriku. Sebenarnya nggak cuek beneran sih, mikir juga kok tapi berusaha untuk tidak diperlihatkan di depan umum. Pernah sekali minta pertimbangan seorang teman. Jawabannya sangat menyejukkan hati. Dia menyuruh aku untuk shalat Istikharah. Dan sayangnya aku terlupa terus untuk melaksanakan shalat ini, sedangkan deadline pengisian paling lambat tanggal 31 Oktober 2014. Tidak mungkin aku mengisinya di detik-detik terakhir, khawatir saja kalau-kalau aplikasinya tiba-tiba ngadat saat injury time.

Akhirnya tanggal 29 Oktober 2014 sore, saat teman-teman sudah pulang, aku buka aplikasi kepegawaian. Saatnya aku untuk menentukan pilihan lima kota tujuan mutasi. Aku sangat menyadari bahwa hidup adalah pilihan. Dan pilihan kita saat ini akan menentukan bagaimana nasib kita selanjutnya.

Pilihan lima kota

Pilihan lima kota

Kota Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik adalah tiga pilihan yang sangat mudah untuk ditentukan. Alasannya tentu saja karena letaknya yang sangat dengat dengan homebaseku yang berada di Sidoarjo. Kota ke-empat mulai perlu sedikit pertimbangan. Ada tiga alternatif kota yang masuk pertimbanganku yaitu Pasuruan, Mojokerto dan Lamongan. Pasuruan akhirnya kucoret dari list. Aku sama sekali asing dengan daerah ini walau relatif dekat dengan Sidoarjo. Mojokerto sangat akrab denganku karena dulu belahan jiwa pernah bertugas disana dan aku sering mengunjungi kantornya. Tapi kemacetan di daerah Kletek menjadi pertimbangan kenapa aku pada akhirnya menghapus kota ini dari list. Akhirnya yang tersisa adalah kota Lamongan. Kota yang akrab pula denganku karena belahan jiwa juga pernah bertugas disana dan aku sering pula mengunjungi kantornya. Mau atau tidak, suka atau tidak, atas pertimbangan rasional, aku harus memasukkan Lamongan sebagai salah satu tujuan mutasi walau sesekali ada rasa perih jika mengenang kota ini, mengingat belahan jiwa meninggal disana. Perjalanan ke Lamongan sebagian besar melewati tol sehingga tidak semacet perjalanan ke Mojokerto.  Walau kadang terjadi kemacetan di daerah Duduksampeyan tapi keadaan itu relatif masih bisa ditolerir.

Sesuai aturan mainnya, untuk kota ke-lima aku harus memilih yang agak jauh. Pertimbanganku kali ini adalah kota tersebut dekat dengan bandara udara. Dua kota yang masuk list adalah Jakarta dan Banjarbaru.  Saat aku menentukan kantor di Jakarta secara spesifik, yaitu kantor yang lokasinya paling dekat dengan bandara udara, ternyata sistem hanya mengakomodasi kota Jakarta saja. Padahal sekian puluh kantor pajak tersebar di Jakarta dan bisa saja aku mutasi ke kantor yang malah sangat jauh dengan bandara udara. Maka aku urung memilih Jakarta. Yang tersisa adalah Banjarbaru. Memang dekat dengan bandara udara dan aku lumayan familiar dengan kota ini karena belahan jiwa berasal dari Kalimantan Selatan.

Finally..

Finally..

This is it !! Akhirnya dengan mengucap bismillah, kumantabkan hati untuk mengeksekusi pilihan tersebut. Aku jadi teringat buku cerita yang menyajikan beberapa alternatif ending cerita kepada pembaca sesuai dengan alur cerita yang dipilihnya. Bedanya dalam buku cerita tersebut pembaca bisa tahu terlebih dulu ending ceritanya jika dia cheating dengan membaca dari belakang. Lain halnya dengan pilihan lima kota ini, aku tidak tahu akan seperti apa endingnya. Aku hanya pasrah kemana takdir hidup akan membawaku dan selalu berbaik sangka pada Allah, bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk aku dan anak-anakku.

***

Dian Widyaningtyas

Almost dawn on Thursday, October 30, 2014

Advertisement

Journey To South Kalimantan : Sleepless Night In Kotabaru

Jelang Sabtu tanggal 9 Agustus 2014…

Larut malam sudah hendak berganti hari ketika kami sampai di rumah mama mertua. Semua keluarga masih terjaga dan menyambut kami dengan suka cita. Anak-anak pun tak kalah senangnya bisa berkunjung ke rumah neneknya. Tidak kudapati raut kelelahan di wajah-wajah polos mereka. Dekat dengan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan abahnya membuat anak-anak merasa dekat dengan abahnya. Dari situlah kerinduan mereka akan sosok abahnya bisa terobati. Setahun lebih mendampingi mereka dan berusaha menyembuhkan rasa kehilangan mereka  membuatku sangat memahami apa yang ada di hati mereka. Dan perjalanan ke Kalimantan merupakan upayaku menyembuhkan rasa kehilangan mereka selain untuk silaturahmi dan menghadiri pernikahan keponakan.

Obrolan kerinduan bergulir diantara kami dan tuan rumah. Tak terasa waktu sudah mulai merambati dini hari. Kami harus istirahat walau raga masih ingin merenda cerita. Masih ada hari esok dimana kami bisa menyambung cerita yang seolah tiada habisnya. Seperti biasa mama mertua sudah menyediakan kamar pribadinya untuk kami tempati malam itu dan malam-malam selanjutnya selama kami menginap di sana. Kami pun membawa kaki melangkah ke tempat peraduan.

Tidak ada yang berubah dengan kamar pribadi mama mertua. Masih seperti dulu ketika terakhir kali kami; aku, belahan jiwa dan dua anak kami berkunjung ke sana. Ya…masih seperti dulu, kecuali satu hal. Rupanya mama mertua memajang foto pernikahan kami di kamar pribadinya. Entah mulai kapan foto itu ada di sana. Seingatku dulu belum ada. Mungkin sejak belahan jiwa pergi. Mungkin mama mertua mengobati rasa rindunya dengan memajang foto kami di kamar pribadinya. Foto itu membuat hatiku makin terasa hampa. Aku belum sanggup untuk memandangi foto belahan jiwa, apalagi foto pernikahan kami. Aku lebih memilih untuk menyimpan foto-foto beliau agar tak terlihat oleh mata ini. Tapi mungkin inilah saatnya aku harus bisa menguatkan hati ini untuk bisa memandangi foto itu selama kami disana.

Foto pernikahan

Foto Pernikahan Kami

Sekian menit berlalu, tak kunjung bisa kupejamkan mata ini. Pikiranku mengembara kemana-mana. Foto itu membuatku tersesat ke masa lalu. Menit berganti jam. Dan dini hari sudah mulai menjemput pagi. Ingatan ini masih enggan beranjak dari masa lalu. Ketelusuri satu persatu jalanan silam. Kusinggahi setiap sudutnya. Satu sudut menuntunku untuk beringsut ke sudut lainnya. Semua yang ada di sana nampak begitu jelas. Seolah aku sedang menyaksikan sebuah film dokumenter yang kubintangi sendiri. Masih tertancap dengan kuat setiap detil adegannya di kepala ini. Jalanan tiba-tiba menjadi samar ketika aku hendak menjelajahi sudut lainnya. Hingga tak bisa kutahan lagi luruhnya air mata.

 Sometimes I wonder why I spend
The lonely nights dreaming of a song
The melody haunts my reverie
And I am once again with you…

#Stardust lyric sung by Nat King Cole #Original Soundtrack Sleepless Night In Seattle 

***

Dian Widyaningtyas

Ah but that was long ago…
Now my consolation is in the stardust of a song

Monday, October 27, 2014

Journey To South Kalimantan : The Long And Winding Road

Mobil Innova hitam dengan lincah meninggalkan Bandara Syamsudin Noor. Tidak seperti suasana di Jawa, khususnya Surabaya yang tiap hari kuakrabi, jalanan di sana begitu sepi. Tak heran mobil yang akan membawa kami ke Kotabaru begitu leluasa melaju dengan kencang. Kami singgah di sebuah warung makan yang luas dengan bangunan sederhana. Aku ingin sekali merasakan masakan khas Kalimantan Selatan.

RM Melati Mekar

RM Melati Mekar

Menunggu pesanan

Menunggu pesanan

Ais dan teh hangat

Ais dan teh hangat

Fauzan yang kedinginan

Fauzan yang kedinginan

Bangunan Warung tersebut terbuat dari konstruksi non permanen dengan beratapkan daun rumbia. Keberadaan hutan di sebelah belakang menjadikan udara disekitarnya menjadi segar. Apalagi waktu itu hujan baru saja mengguyur kawasan tersebut. Warung tersebut menyajikan aneka ikan bakar lengkap dengan sambal dan sayur bening khas Kalimantan Selatan yang terdiri dari bayam dan labu kuning.

Salah satu menu khas Kalimantan Selatan

Salah satu menu khas Kalimantan Selatan

Setelah satu jam lebih kami singgah untuk makan, akhirnya kami melanjutkan perjalanan kembali. Masih sangat panjang perjalanan yang akan kami tempuh. Kotabaru adalah nama sebuah Kabupaten yang terletak di Pulau Laut, sebuah pulau kecil yang letaknya tentu saja terpisah dari Pulau Kalimantan yang besar itu. Untuk mencapai Kotabaru, kami harus menempuh perjalanan darat selama kurang lebih dua belas jam. Sebenarnya perjalanan panjang itu bisa ditempuh hanya dalam waktu sejam saja dengan menggunakan pesawat kecil. Tapi aku ingin menapak tilas perjalananku sebelumnya, semasa belahan jiwa masih ada.

Kami harus melewati dua kabupaten untuk sampai ke Kotabaru. Sebelumnya kami melewati Kabupaten Tanah Laut dengan Pelaihari sebagai ibukotanya.  Sebenarnya suasana yang sangat berbeda dengan di Jawa sudah kurasakan sejak aku keluar dari Bandara Syamsudin Noor. Tapi menginjak Kabupaten Tanah Laut aku benar-benar merasakan bahwa kaki ini sudah jauh meninggalkan Pulau Jawa. Bangunan-bangunan yang kami temui di sepanjang jalan mempertajam rasa itu. Bangunan di Kalimantan Selatan umumnya terbuat dari kayu ulin baik lantai, dinding, maupun atapnya. Tapi sekarang ini banyak pemilik rumah yang melapisi lantai kayu dengan keramik. Mungkin agar lebih mudah dibersihkan atau lebih indah dari segi estetika.

Pelaihari

Pelaihari

masih di pelaihari

Masih di pelaihari

bangunan khas di kalimantan

Bangunan khas di Kalimantan

Hari sudah malam ketika kami memasuki Kabupaten Tanah Bumbu yang beribukota di Batulicin. Kami singgah untuk makan malam disebuah warung makan. Dari logatnya aku bisa mengenali kalau penjual dan pelayan-pelayan di warung itu yang keseluruhannya lelaki berasal dari Jawa. Menu yang disajikan aneka ikan bakar, ayam bakar, nasi putih, nasi uduk, sambal, dan lalapan. Kami tidak berlama-lama di warung tersebut. Kami harus segera sampai di Pelabuah Penyeberangan Batulicin untuk kemudian menyeberang ke Pulau Laut. Aku pernah menginjakkan kaki di Pelabuhan Batulicin beberapa tahun silam. Waktu itu aku dan belahan jiwa berangkat ke Kotabaru dengan menggunakan kapal cepat Serayu dan turun di Batulicin.

Sirine terdengar meraung panjang sebagai isyarat kapal akan bertolak ketika kami sampai di gerbang pelabuhan. Setelah membayar retribusi, sopir segera melaju kencang mengejar kapal yang sudah hendak diberangkatkan itu. Perjalanan dari pelabuhan Batulicin ke Pulau Laut ditempuh dalam waktu empat puluh lima menit. Suasana sekitar sudah sangat gelap sehingga kami tidak bisa melihat pemandangan di sekitar pelabuhan.

kapal penyeberangan

kapal penyeberangan

Empat Puluh lima menit berlalu tanpa terasa. Akhirnya kami sampai di Pulau Laut. Perjalanan kami tidak berhenti sampai disitu. Dibutuhkan waktu sejam lebih untuk bisa sampai ke rumah mama mertua. Jalanan begitu gelap dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu mobil saja. Bersyukur sekali kakak ipar mengirim sopir yang sangat piawai dan mengusai medan untuk menjemput aku dan anak-anak. Dengan suasana jalan yang sangat gelap, medan yang berkelok-kelok, belum lagi jalanan yang naik tajam dan turunan yang curam, dengan kecepatan mobil yang digeber lebih dari sewajarnya agar bisa segera sampai tujuan dengan selamat, tentu dibutuhkan sopir yang sangat mengusai mobil dan medannya sekaligus. Sedikit saja salah belok, kami bisa terperosok keluar dari jalur karena jalannya sempit.

Memasuki Pulau Laut, hati ini makin tak karuan. Entahlah tak bisa kugambarkan perasaanku. Sudah sejak siang tadi, ketika kami keluar dari bandara Syamsudin Noor, ada rasa, entah apa, yang beberapa kali mengusik hatiku. Aku jadi sering membayangkan andai belahan jiwa ada bersama kami. Sungguh perjalanan yang melelahkan raga bagiku. Tapi jiwa ini tak kalah lelahnya menjelajahi masa yang telah lalu tapi tak pernah bisa kulupakan.

The long and winding road
That leads to your door
Will never disappear
I’ve seen that road before
It always leads me here
Lead me to your door

The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here?
Let me know the way

Many times I’ve been alone
And many times I’ve cried
Anyway you’ll never know
The many ways I’ve tried

And still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long long time ago
Don’t leave me waiting here
Lead me to your door

#The Long And Winding Road Lyric from The Beatles

***

Dian Widyaningtyas

Many times I’ve been alone and many times I’ve cried…

Friday, October 24, 2014

Journey To South Kalimantan : The Day When We Started It

Ada beberapa catatan perjalanan yang belum sempat dituangkan dalam blog pribadiku. Salah satunya adalah perjalanan ke Kalimantan Selatan di bulan Agustus lalu bersama anak-anak. Cerita tentang perjalanan ini akan kutulis secara bersambung.

Kalimantan Selatan, sebuah kota yang sangat melekat di hatiku walau baru dua kali aku sempat datang ke sana., itupun dalam rentang waktu yang cukup panjang. Setelah sekian tahun, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki ke tanah kelahiran belahan jiwa. Kali ini aku pergi bersama anak-anak. Sudah beberapa hari kupersiapkan sebuah koper super besar untuk menampung kebutuhan kami semua. Biar ringkas maka kuputuskan untuk membawa sebuah koper super besar saja yang nantinya bisa kumasukkan ke bagasi pesawat sehingga aku bisa menjaga anak-anak dengan leluasa, maklum saja anak-anak biasanya super aktif.

Jumat pagi tanggal 8 Agustus 2014…..

Pagi itu aku agak bad mood karena baru kusadari salah satu gadgetku raib entah kemana. Insiden yang sempat bikin aku sedikit kelabakan mengingat data-data pribadi yang tersimpan di dalamnya. Akhirnya…ya sudahlah relakan saja. Berharap gadget tersebut hanya hilang di rumah saja.Pesawat citilink yang akan membawa kami ke Banjarmasin dijadwalan berangkat jam 11-an. Jam 9 lebih sedikit kami sudah berada di dalam taksi yang siap meluncur ke Juanda. Sekian menit berikutnya kami sudah sampai di Juanda. Setelah proses check in selesai, kami langsung masuk ke ruang tunggu. Mulai kutemui aura Kalimantan disana. Beberapa orang di sebelahku bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Banjar yang sudah bisa kupahami dengan baik sejak aku bersuamikan orang Banjar. Anak-anak begitu antusias karena untuk anak nomor tiga dan empat, ini pertama kalinya mereka berkunjung ke tanah kelahiran abahnya. Pertama kali pula mereka naik pesawat.

Abaikan  yang berbaju merah itu....

Abaikan yang berbaju merah itu….

Alhamdulillah pesawat yang kami naiki on time dan kami menginjakkan kaki di Bandara Syamsudin Noor sekitar jam 13 karena ada selisih satu jam antara Banjarmasin dan Sidoarjo. Ada keponakan yang sudah menjemput di bandara. Sedangkan kami masih harus menunggu koper yang ternyata makan waktu lumayan lama. Aku tak ingat lagi bagaimana bandara Syamsudin Noor waktu pertama kali aku kesana sekian tahun sebelumnya. Bandara Syamsudin Noor tentu saja tidak sebesar Bandara Juanda. Segarnya bau tanah yang ditingkahi rintik hujan menyambut kedatangan kami di Banjarmasin siang itu. Udaranya yang segar mampu mengalihkan kegalauan hatiku yang tiba-tiba serasa hampa. Segera kami melanjutkan perjalanan darat menuju ke Kotabaru.

***

Dian Widyaningtyas

Biarkan kukenang setiap jengkal masa lalu yang pernah kulalui

Friday, October 24, 2014