Beberapa minggu yang lalu sepulang dari kantor seperti biasa anak-anak sibuk menceritakan kegiatan mereka selama di sekolah pada hari itu. Ada satu cerita yang sesaat bikin jidatku mengernyit, mencoba untuk mencerna pelan-pelan dan berusaha untuk tidak menunjukkan ekspresi kaget kepada bungsuku, si pemilik cerita. Lalu aku melanjutkan aktifitas seperti biasa, sholat dan nyiapin makan malam buat anak-anak.
Bungsu cerita kalau pada salah satu mata pelajaran hari itu, dia dan lima orang temannya rame di kelas dan mendapat nilai jelek. Sebagai hukumannya, dia dan kelima temannya harus mengenakan jilbab yang sudah disiapkan di meja guru di kelas itu. Sebagai catatan, kelas bungsu adalah kelas khusus untuk siswa lelaki saja. Sekolah Dasar swasta berbasis Islam dimana bungsu bersekolah menerapkan pemisahan kelas antara siswa perempuan dan lelaki. Aturan ini diberlakukan untuk siswa kelas 3 keatas. Aku harus mengendapkan informasi yang kuterima dari bungsu, menekan emosi yang menyeruak diantara lelahnya raga dan pikiran sehabis bekerja. Ya…jenis hukuman yang diberikan pada bungsu dan kelima temannya tidak bisa kuterima, apapun alasannya. Bukankah dalam Islam lelaki dilarang menyerupai perempuan, dan begitu pula sebaliknya. Manakala hukuman semacam ini terjadi di sekolah berbasis Islam, yang seolah-olah melupakan larangan tersebut, tentu saja tidak bisa masuk ke dalam ranah toleransiku.

Setelah kutanyakan beberapa kali kepada bungsu, tanpa menimbulkan kesan bahwa mamanya sedang sangat serius menanggapi kejadian tersebut, dan jawaban bungsu menunjukkan konsistensi tingkat tinggi, maka aku mencoba minta penjelasan ke wali kelas di group wali murid. Wali kelas tidak bisa memberi penjelasan karena memang beliau tidak berada di kelas saat kejadian. Ada satu wali murid yang mempertanyakan kejadian tersebut dengan nada protes. Tapi setelah itu group menjadi senyap. Group yang biasanya rame itu tiba-tiba saja menjadi senyap. Hanya ada postinganku yang dengan sangat meminta penjelasan atas kejadian tersebut, juga mengenai keberadaan jilbab di kelas bungsu yang notabene berisi siswa lelaki semua.
Dukungan….rasanya tak bisa kuharapkan dari para orang tua dan wali murid di group tersebut. Bahkan dari orang tua dan wali murid yang anak-anaknya juga mengalami punishment (atau bullying?) yang sama. Tapi itu tak jadi masalah buatku. Aku memutuskan untuk menghadap kepala sekolah agar dipertemukan dengan ustadz pengajar yang memberikan hukuman yang menurutku tak pantas itu. Singkat cerita aku, dan satu orang tua murid yang tiba-tiba japri ke nomor whatsappku, menghadap Kepala Sekolah keesokan harinya. Dari ekspresi wajah para pengajar lain dan juga Kepala Sekolah, aku bisa memastikan bahwa apa yang menimpa bungsu dan lima temannya sempat membuat kehebohan kecil di kalangan mereka. Selanjutnya, tentang pembinaan kepada pengajar yang memberikan hukuman kepada bungsu, aku serahkan semuanya ke pihak sekolah.
Setelah aku menghadap Kepala Sekolah, ada beberapa orang tua dan wali murid yang secara pribadi menyampaikan rasa terimakasihnya atas keputusanku untuk membawa masalah tersebut ke Kepala Sekolah. Well…..jujur aku nggak habis pikir. Kemana aja mereka saat aku di group mencoba untuk minta penjelasan kepada wali kelas. Semua pada bungkam, senyap, entah tak peduli atau sungkan. Mungkin atas nama sungkan mereka menjadi bungkam. Tapi bagiku yang salah sudah selayaknya dibenerin, yang bengkok harus diluruskan. Ketika aku menghadap Kepala Sekolah, jangan dibayangkan emak-emak yang nyap-nyap sambil ngomel-ngolel nggak keruan. Tujuannya hanya untuk tabayun, juga menanyakan alasan atas dipilihnya hukuman tersebut yang dimataku lebih kepada bullying daripada punishment. Lalu ada diskusi kecil antara tiga pihak, tentang bagaimana baiknya kedepan nanti. Itu saja. Kenapa harus menghindari dialog yang menurutku sangat penting? Bagiku, orang tua dan wali murid adalah stake holder dari sebuah institusi pendidikan dimana anaknya menuntut ilmu. Pihak sekolah sudah pasti akan mau mendengarkan masukan dari stake holdernya.
Why so worry to express your opinion? Kenapa harus diam jika ada yang mengganjal di hati? Haruskah kita selalu mengenakan topeng manakala hati ini berkata lain?
***
Dian Widyaningtyas for Journey of My Life
Mencecap perbedaan sikap…
Jelang pulang kantor, Gresik, April 26th, 2017
Pict was taken from Google
Like this:
Like Loading...