Tips dan Trik Tahun Ajaran Baru

“Mother is center of little universe called family” – Dian W.

Beh!!….ini emak-emak apa hubungannya dengan tahun ajaran baru? Banyak lah. Mother is center of little universe called family. Klo emaknya diem pasti pada mati gaya deh anggota keluarga yang lain. Coba aja seharian diem di kamar nggak ngapa-ngapain, bahkan masak pun tidak (pastikan ada stok makanan instan dan cemilan di rumah ya kalo nggak mau dibilang dzalim sama suami dan anak-anak hehehe). Pasti pada nanyain “ada makanan apa?” dengan mimik wajah perpaduan bete dan memelas karena kelaparan.

Jadi begini, pas anak-anak liburan panjang setelah terima raport kenaikan kelas, juga setelah mendengar dari wali kelas masing-masing, tentang point yang kudu jadi perhatian kedepannya, ada kondisi yang kudu diperbaiki di tahun ajaran baru nanti. Sulung sering banget telat. Padahal tahun ini adeknya sudah mulai bersekolah di tempat yang sama dengan kakaknya. Kalo kondisinya masih sama, tentu saja dia bakalan ikutan sering telat kek kakaknya.

 

Berangkat dari situ, aku ngerasa harus mencari tips dan trik untuk kedepannya agar bisa diminimalisir segala fraud yang ada. Halah bahasanya keren bener hehehe… Padahal kalo mau jujur, tiap hari tuh dah dibela-belain bangun bahkan jauh sebelum ayam jago berkokok, bahkan jauh sebelum sepertiga malam terakhir, jungkir balik, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, pokoke koyok ngunu lah, all out hanya agar segala urusan di rumah bisa terselesaikan dengan baik. Tapi…ya begitulah, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa setiap orang itu punya keterbatasan. Tapi bukan berarti nyerah dengan keadaan kan.

Salah satu hal yang perlu diperbaiki adalah food preparation. Seringnya yang terjadi adalah waktu habis banyak buat nyiapin makanan dan bekal sekolah sulung.  Jadi kalo pagi tuh kudu nyiapin sarapan, makan siang untuk bekal sekolah sulung, dan makan malam anak-anak. Juga nyiapi bekal cemilan buat sekolah mereka. Kadang pas pulang, aku kena macet parah di tol sehingga nyampe rumah dah waktunya anak-anak makan malam harusnya. Kasihan kan kalo belum ada makanan untuk mereka santap, kelaparan nungguin mamanya pulang kantor. Kenapa nggak mengupah khadimat? whuah…panjang nih tulisan kalo kudu ngejelasin soal khadimat.

Hal lainnya yang perlu dipikirkan adalah berubahan trayek perjalananku. Selama ini sulung ke sekolah naik angkot karena emaknya masih was-was tiap kali dia naik motor. Maklum belum punya SIM. Ternyata naik angkot perlu waktu yang lama karena sering ngetem nyari penumpang. Padahal kalo bawa motor sendiri, nggak sampe setengah jam dah nyampe sekolah. Jadi berangkat jam 06.00 seharusnya masih aman dari telat. Alternatif untuk mengatasi solusi tersebut, mungkin emaknya ngalahin berangkat lebih pagi lagi buat ngantar sulung dan adeknya sekolah dulu, trus lanjut ke Gresik lewat tol Sidoarjo. Gempor pastinya karena muter hehehe. Apa sih yang nggak dilakukan seorang ibu agar semuanya berjalan dengan baik? Ya nggak? Pertimbangan lain, ya karena adeknya ini cewek, dah diwanti-wanti bolak balik sama mbahnya…

“Anak wedhok dah masuk SMA, jagain yang bener”…

Keknya urusan penjagaan anak wedhok ini jadi top priority emak dan juga kakaknya saat ini. Saking hati-hatinya ngejagain jadi berasa over protective aja hehehe.

Hm…kira-kira apa lagi ya yang perlu dibenahi? Let’s see if it works for better result…

***

Dian Widyaningtyas

Lazy Friday, July 7th, 2017

Advertisement

Antara Hujan, Soto, dan Jengkol

Pagi ini tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah karena hujan yang mengguyur Sidoarjo sejak dini hari kemarin. In fact, harus batalin beberapa rencana. Dah janji ngajakin anak-anak ke alon-alon Sidoarjo sekalian memenuhi jadwal free run disana. Tapi apa mau dikata jika cuaca tak berpihak pada kita. Jadi kepikiran untuk punya treadmill.

Rinai hujan di pagi hari

Akhirnya pas hujan mulai menyisahkan rintik-rintiknya ketika jam menunjuk angka 7, disempetin keluar untuk menghirup udara segar. Sekalian maem soto di depan komplek. Lapaknya di pinggir jalan, tanpa meja. Jadi rada susah buat anak-anak saat megang mangkoknya yang pastinya panas. Jadinya lesehan di kabin mobil. Aneh aja, hal seperti itu tak urung menarik perhatian orang yang lewat ternyata.

Preparing our order

Selamat menikmati…

Lesehan di kabin belakang

Setelah sarapan selesai, lanjut ke LotteMart untuk berburu jengkol. Iyaaaaa jengkol. Gara-gara malamnya diobrolin di group, dan testimoni teman-teman bikin aku yang pernah sekali aja makan segigit kecil jengkol dan langsung dilepeh gara-gara stigma negatif yang sudah kadung bercokol di kepala, jadi penasaran ingin mengalahkan stigma negatif tersebut. Dari hasil obrolan di group, udah terbayang mau diapain aja tuh jengkol. Rendang jengkol, Balado jengkol, Semur jengkol, bahkan Gulai jengkol dan Jengkol bumbu Bali. Out of the box kan wkwkwk…

Ternyata di LotteMart stok jengkol lagi kosong. Langsung pindah ke Giant yang tak jauh dari situ. Ternyata nggak ada juga. Yo wes pupus sudah harapan untuk membawa sekilo jengkol yang kata teman di group harganya udah mahal. Dari angka yang dia sebutin sih harga sekilo jengkol udah ngalahin harga ayam dengan berat yang sama.

Ya sudah lah, hari ini gagal eksekusi jengkol. Keknya perlu ekspansi ke Surabaya buat nyari si jengki ini. Tapi aku suka ketawa sendiri kalo ingat beberapa teknik memasak jengkol yang diceritakan teman-teman. Ada yang direndam dua hari agar jengkolnya empuk. Kenapa nggak pake presto aja masaknya? Seperempat jam aja dah empuk. Ada yang menguburnya di dalam tanah selama beberapa hari agar baunya nggak terlalu tajam. Haduh kelamaan deh. Mana lagi musin hujan gini. Bisa-bisa tumbuh tunas tuh jengkol hehehe… By the way…ada yang tahu kalo di Surabaya dimana ya yang jual jengkol? Pasar wonokromo? LotteMart Marvel City? Papaya Margerojo?
***

Dian Widyaningtyas for Journey of my life

October 9th, 2016. In the still of the night. It’s rain out there…..

Having Fun di Jombang

Story about us when we spent week end in my home town….

Just to make you happy, kids. Just to make you all happy…

Aisyah in action


IMG_20151010_211248

IMG_20151010_211148

IMG_20151010_211146

IMG_20151010_211134

IMG_20151010_211107

IMG_20151010_210825

IMG_20151010_210803

IMG_20151010_210724

IMG_20151010_210646

IMG_20151010_210638

***

Dian Widyaningtyas

Sunday Afternoon, just before we go back to Sidoarjo

October 11th, 2015

Turning Our Kids Into Bookworm

Suatu hari ada seorang teman yang mengeluhkan anak-anaknya yang nggak suka membaca. Bahkan dia harus memberikan iming-iming berupa sejumlah uang hanya agar anak-anaknya mau membaca sebuah buku. Well…aku speechless mendengarnya. Pertama, bagiku memberikan iming-iming berupa uang agar anak-anak mau mengerjakan sesuatu adalah BIG NO ! Kelak mereka hanya mau berbuat sesuatu just for money. Kedua, menurutku bukan begitu caranya agar anak-anak gemar membaca.

Membentuk anak-anak agar gemar membaca membutuhkan proses yang lumayan panjang. Tidak semudah membalik telapak tangan dan tidak secepat mengedipkan mata.

Aku sedini mungkin sudah mengenalkan anak-anak pada buku. It’s ok kalau mereka hanya bisa meremas-remas dan menyobek-nyobek lembaran-lembaran buku tersebut. Begitulah awalnya mereka berinteraksi dengan buku. Mendengar suara sobekan kertas yang mereka sobek sendiri membuat mata mereka berbinar-binar kegirangan. Waktu anak-anak masih baby, belum ada yang namanya buku bantal. Jadi aku membelikan mereka majalah anak-anak bekas. Ketika mereka mulai anteng menghadapi buku, aku mulai memberikan buku-buku yang bright color dan berbahan kertas tebal. Ketika usia mereka bertambah, tentu lain lagi jenis buku yang kuberikan pada mereka. Itu rangsangan yang secara langsung kuberikan ke mereka.

IMG00020-20101005-0613

Rangsangan secara tak langsung banyak caranya. Salah satunya adalah orang tua, terutama mama, harus pula menunjukkan minat yang besar pada buku-buku. Kenapa mama? Karena mama yang lebih banyak berinteraksi dengan anak-anak dibandingkan seorang ayah. Bagaimana kita menginginkan anak-anak gemar membaca jika mereka tidak pernah melihat orang tuanya asyik berkutat dengan buku-buku? Sedari kecil anak-anakku sudah terbiasa melihat mamanya asyik membaca dimana-mana, di ruang makan, di ruang keluarga sambil selonjoran di sofa, di ruang perpustakaan pribadi, bahkan di kamar jelang tidur. Mereka sudah terbiasa melihat mamanya tidur dengan ditemani tumpukan buku disebelah ranjang atau serakan beberapa buku dibawah bantal.

Rangsangan lain adalah fasilitas berupa buku-buku bacaan yang sesuai dengan umur mereka. Bagaimana mereka akan gemar membaca jika buku-buku yang kita sediakan buat mereka sangat minim? Ketika mereka beranjak besar, aku selalu memberi kebebasan pada anak-anak untuk memilih sendiri buku-buku yang mereka sukai.

Memikirkan kembali keluhan temanku, aku jadi bersyukur anak-anakku gemar membaca semuanya. Mereka memiliki gaya yang berbeda-beda ketika asyik membaca. Ada yang benar-benar nggak suka jika keasyikannya membaca terganggu, ada yang easy going aja ketika ada interupsi. Ada yang rapi jali, selalu mengembalikan bacaannya pada tempat semula, ada pula yang seperti mamanya, tidur dengan dikelilingi banyak buku entah di bawah bantal sampai bukunya kelipat-lipat, atau di samping ranjang.

Kadang kegemaran mereka membaca mengakibatkan high cost buatku, but it’s ok karena yang mereka beli adalah ilmu dan bukan merupakan kesia-siaan. Bukankah buku adalah jendela dunia? Dengan membaca buku-buku tersebut, mereka akan melihat dunia.

***

Dian Widyaningtyas

Journey of My Life

Monday, February 2nd, 2015

Fauzan and His Courage

Fauzan adalah anak bungsuku yang tahun ini memasuki usia ketujuh. Tapi dimataku selalu saja dia menjadi anak kecil yang lemah dan aku cenderung over protect terhadapnya. Ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang kurus kecil dan anaknya yang cenderung pendiam membuatku masih saja memperlakukannya tak ubahnya seperti dua atau tiga tahun silam. Padahal kalau saja mata ini mau terbuka, banyak hal yang mengejutkan yang ditunjukkan Fauzan mengiringi semakin bertambahnya usia dia.

Seperti halnya malam kemarin, sewaktu kami ke dokter gigi. Itu pengalaman pertama bagi Fauzan. Dua hari sebelumnya dia mengeluhkan lidahnya yang bagian depan sering terasa sakit manakala menyentuh “sesuatu” yang tajam dibelakang gigi depan bagian bawah. Aku tiba-tiba teringat akan satu hal. Di umur-umur dia sekarang, bukankah waktunya gigi susunya tanggal? Kenapa aku nggak aware akan hal ini? Aku agak menyesali keteledoranku. Ketika kuperiksa, memang bisa kupastikan ada gigi yang sudah mulai tumbuh dibelakang gigi depan bagian bawah. Dalam bahasa Jawa ini istilahnya “kesundulan”, dan gigi yang kesundulan tadi sudah mulai menguat lagi. Segera kupeluk dia sambil membayangkan ruang praktek dokter gigi yang sampai saat ini masih menjadi hal horor bagiku. Mungkin aku memeluknya lebih kepada memberikan ketenangan untuk diriku sendiri, sedangkan Fauzan tetap tenang-tenang saja.

gopixpic

Dokter gigi memutuskan untuk memberikan suntikan obat bius ke gusi Fauzan. Dengan sedikit bernada protes kupertanyakan keputusan dokter tersebut.

“Dok, nggak pakai semprotan saja untuk membiusnya?” Aku ngeri membayangkan gusi Fauzan ditembus jarum kecil.

Kudengar dokter meminta persetujuan Fauzan, apakah mau pakai suntikan atau disemprot cairan dingin yang rasanya seperti es. Diluar dugaanku ternyata Fauzan memilih untuk disuntik saja. Dan tiba-tiba saja rasa aneh menjalari seluruh rongga mulutku. Aku tidak sanggup melihat Fauzan yang sedari awal sudah duduk di kursi periksa.

“Mamanya ini gimana sih, anaknya minta disuntik kok malah disuruh pakai semprotan” Kata dokter sambil senyum-senyum.

Aku tak sanggup lagi melihat Fauzan. Aku hanya mampu melihat ujung kakinya dan memperhatikan kalau-kalau ujung kaki itu mengejang menahan takut ataupun sakit. Tapi kulihat kaki Fauzan wajar-wajar saja. Dan dalam hitungan sekian detik selesai sudah proses pencabutan gigi susu Fauzan setelah disudahi dengan berkumur-kumur. Aku masih penasaran dengan penasaran dengan keputusan dokter dengan memberinya suntikan obat bius.

“Dok, kenapa dokter lebih memilih suntikan daripada semprotan?” Tanyaku.

“Karena giginya sudah nggak goyang lagi, Bu. Jadi agak susah mencabutnya. Anaknya loh berani. Mamanya yang terlalu khawatir. Saya jadinya grogi tadi” Jawab dokter panjang.

I see… I see…. dengan gigi susu yang kembali kuat lagi, kemungkinan rasa sakitnya lebih besar saat pencabutan jika dibanding gigi susu yang masih dalam kondisi goyah. Karena itu dibutuhkan bius yang sedikit lebih kuat. Aku menyimpulkannya sendiri.

Sampai pagi aku tidak perlu meminumkan pain killer yang sudah kusiapkan sebelumnya. Kondisi Fauzan stabil. Satu hal yang aku khawatirkan adalah luka bekas giginya dicabut akan menimbulkan rasa nyeri dan mengakibatkan demam setelah efek biusnya hilang. Alhamdulillah kekhawatiranku tidak terjadi. Keberanian demi keberanian mulai ditunjukkan oleh lelaki kecilku. Pelan-pelan aku harus membiasakan diri dengan keberanian dan kemandiriannya. Mama is proud of you, Dek…

***

Dian Widyaningtyas

January 20th, 2015

Ilustrasi diambil dari gopixpic.com

Another Side of My Daughter

Beberapa minggu lalu Hanifah memberitahukan kepadaku bahwa dia lolos kompetisi matematika dan harus mempersiapkan diri untuk kompetisi selanjutnya. Sebelumnya aku sudah mendengar kabar tersebut dari kakaknya yang disampaikan kepadaku sambil lalu. Rupanya kakaknya sudah tahu terlebih dahulu tentang pengumuman itu karena dia aktif di OSIS. Reaksiku agak kaget juga karena aku tidak pernah melihat Hanifah mempersiapkan kompetisi tersebut secara khusus sebelumnya. Jangankan persiapan kompetisi, belajar rutin aja dia ogah-ogahan. Kakaknya berkutat dengan buku-buku pelajaran, dia malah asyik dengan hal lain.

Lalu aku melupakan pembicaraan tersebut karena tenggelam dalam kesibukan lain dan membiarkan Hanifah mempersiapkan kompetisi itu sendiri. Anak-anak memang kudidik untuk mandiri. Tapi satu hal yang membuatku lebih mengamati Hanifah dalam diam, aku menemukan satu hal lagi yang bisa membuatnya percaya diri. Diantara saudara-saudaranya yang lain memang Hanifah paling pendiam jika di luar rumah. Semua ustadzah dan ustadz yang pernah menjadi gurunya memberikan komentar yang sama “Mbak Hanifah diam ya, Bu” Aku tak pernah mendapatkan komentar lain selain itu. Padahal di rumah semua wajar-wajar saja, pun dimataku dia adalah anak yang cerdas.

Aku sering mengamati akun-akunnya di media sosial. Banyak teman yang mengapresiasi gambar-gambar yang dia upload di media sosial. Itu bukan foto-foto selfie khas ABG melainkan gambar karya dia. Ada saat-saat tertentu dia begitu asyik menggambar pada sketch book berukuran besar dan meminjam alat-alat tulis dan gambar yang kumiliki. Gambarnya bagus menurutku. Karena aku nggak bisa menggambar seperti itu. Kemudian aku menangkap pembicaraan dia dan kakaknya beberapa kali menyebut kata-kata “poster”. Hanifah membicarakannya dengan antusias. Waktu pengambilan rapor kemarin, wali kelasnya memberitahukan kepadaku bahwa Hanifah memenangi lomba pembuatan poster. Well…agak surprise buatku mengetahui anakku yang nomor dua meminati bidang seni. Mengingat emaknya jauh banget dari hal-hal yang berhubungan dengan seni. Malah dulu waktu ada pelajaran kesenian, keterampilan dan olah raga, pengen banget rasanya melarikan diri dari kelas atau lapangan. Lha terus apa hubungannya dengan semua itu yak? Ya…kali aja itu adalah suatu gen yang diturunkan gitu. Tapi emang abahnya pinter dalam hal seni sih. Nurun dari abahnya ‘kali ya. The point is, aku menemukan satu hal lagi yang seharusnya bisa membuat Hanifah lebih percaya diri di luar rumah. Jadi ceritanya aku sedang berusaha keras membuatnya percaya diri di depan teman-temannya.

So, hari Minggu tanggal 21 Desember 2014 jam 09.00 kami, aku dan Hanifah, berangkat ke lokasi kompetisi. Sepanjang perjalanan itu kami ngobrol-ngobrol dengan santai. Sesekali kulontarkan sugesti positif kepadanya.

Kartu ifa

“Berapa orang teman dek Ifah yang ikut kompetisi?” Tanyaku.

“Banyak, Ma. Tapi yang sekelas sama dek Ifah nggak ada” Jawabnya.

“Hm….”

“Yang dari kelasnya dek Ifah cuman dek Ifah saja” Lanjut Ifah setelah menangkap kebingunganku.

“Apakah mereka nggak ikut tes babak penyisihan?” Tanyaku lagi.

“Ikut, Ma..” Which means she is the only one yang lolos babak tersebut in her class.

“Tuh kan…dek Ifah tuh cerdas. Buktinya dengan sedikit belajar saja, dek Ifah bisa sampai ke babak ini. Apalagi kalau dek Ifah mau belajar lebih serius lagi” Kataku menyemangatinya.

“Kemarin Ustadzah wali kelas juga bilang sama Mama kalau dek Ifah menang juara lomba pembuatan poster. Juara berapa, Dek?”

“Juara satu” jawabnya pendek. Kulihat dengan sudut mataku, dia sedang memperhatikan lalu lintas yang mulai padat saat itu.

“Dek Ifah hebat! Mama nyerah deh. Mama nggak bisa menggambar. Dek Ifah suka ya bikin poster?

“Suka” masih saja dia menjawabnya dengen pendek.

“Ya udah kalau dek Ifah suka tetaplah menggambar tapi jangan lupa belajarnya ya” Dia hanya menggangguk.

Kami ngobrol banyak waktu itu. Mostly sih aku mencoba membangun kepercayaan dirinya dengan kalimat-kalimat afirmasi positif. Aku berharap semoga pembicaraan kami mengena di benaknya.

***

 

Dian Widyaningtyas

Crossing the crowded road along with my first daughter

Sunday, December 21st, 2014

#latepost