Fauzan adalah anak bungsuku yang tahun ini memasuki usia ketujuh. Tapi dimataku selalu saja dia menjadi anak kecil yang lemah dan aku cenderung over protect terhadapnya. Ditambah lagi dengan postur tubuhnya yang kurus kecil dan anaknya yang cenderung pendiam membuatku masih saja memperlakukannya tak ubahnya seperti dua atau tiga tahun silam. Padahal kalau saja mata ini mau terbuka, banyak hal yang mengejutkan yang ditunjukkan Fauzan mengiringi semakin bertambahnya usia dia.
Seperti halnya malam kemarin, sewaktu kami ke dokter gigi. Itu pengalaman pertama bagi Fauzan. Dua hari sebelumnya dia mengeluhkan lidahnya yang bagian depan sering terasa sakit manakala menyentuh “sesuatu” yang tajam dibelakang gigi depan bagian bawah. Aku tiba-tiba teringat akan satu hal. Di umur-umur dia sekarang, bukankah waktunya gigi susunya tanggal? Kenapa aku nggak aware akan hal ini? Aku agak menyesali keteledoranku. Ketika kuperiksa, memang bisa kupastikan ada gigi yang sudah mulai tumbuh dibelakang gigi depan bagian bawah. Dalam bahasa Jawa ini istilahnya “kesundulan”, dan gigi yang kesundulan tadi sudah mulai menguat lagi. Segera kupeluk dia sambil membayangkan ruang praktek dokter gigi yang sampai saat ini masih menjadi hal horor bagiku. Mungkin aku memeluknya lebih kepada memberikan ketenangan untuk diriku sendiri, sedangkan Fauzan tetap tenang-tenang saja.
Dokter gigi memutuskan untuk memberikan suntikan obat bius ke gusi Fauzan. Dengan sedikit bernada protes kupertanyakan keputusan dokter tersebut.
“Dok, nggak pakai semprotan saja untuk membiusnya?” Aku ngeri membayangkan gusi Fauzan ditembus jarum kecil.
Kudengar dokter meminta persetujuan Fauzan, apakah mau pakai suntikan atau disemprot cairan dingin yang rasanya seperti es. Diluar dugaanku ternyata Fauzan memilih untuk disuntik saja. Dan tiba-tiba saja rasa aneh menjalari seluruh rongga mulutku. Aku tidak sanggup melihat Fauzan yang sedari awal sudah duduk di kursi periksa.
“Mamanya ini gimana sih, anaknya minta disuntik kok malah disuruh pakai semprotan” Kata dokter sambil senyum-senyum.
Aku tak sanggup lagi melihat Fauzan. Aku hanya mampu melihat ujung kakinya dan memperhatikan kalau-kalau ujung kaki itu mengejang menahan takut ataupun sakit. Tapi kulihat kaki Fauzan wajar-wajar saja. Dan dalam hitungan sekian detik selesai sudah proses pencabutan gigi susu Fauzan setelah disudahi dengan berkumur-kumur. Aku masih penasaran dengan penasaran dengan keputusan dokter dengan memberinya suntikan obat bius.
“Dok, kenapa dokter lebih memilih suntikan daripada semprotan?” Tanyaku.
“Karena giginya sudah nggak goyang lagi, Bu. Jadi agak susah mencabutnya. Anaknya loh berani. Mamanya yang terlalu khawatir. Saya jadinya grogi tadi” Jawab dokter panjang.
I see… I see…. dengan gigi susu yang kembali kuat lagi, kemungkinan rasa sakitnya lebih besar saat pencabutan jika dibanding gigi susu yang masih dalam kondisi goyah. Karena itu dibutuhkan bius yang sedikit lebih kuat. Aku menyimpulkannya sendiri.
Sampai pagi aku tidak perlu meminumkan pain killer yang sudah kusiapkan sebelumnya. Kondisi Fauzan stabil. Satu hal yang aku khawatirkan adalah luka bekas giginya dicabut akan menimbulkan rasa nyeri dan mengakibatkan demam setelah efek biusnya hilang. Alhamdulillah kekhawatiranku tidak terjadi. Keberanian demi keberanian mulai ditunjukkan oleh lelaki kecilku. Pelan-pelan aku harus membiasakan diri dengan keberanian dan kemandiriannya. Mama is proud of you, Dek…
***
Dian Widyaningtyas
January 20th, 2015
Ilustrasi diambil dari gopixpic.com